Kamis, 14 November 2013

PAHLAWAN YANG KUPANGGIL AYAH




Hallo everyone. Aku kembali datang, kali ini dengan postingan yang sedikit serius. Tenang, postingan ini bukan tentang kritikan pemerintahan SBY atau korupsi di Indonesia. itu terlalu serius. Aku bahkan gak paham politik. Haha.
Anyway, kayanya lebih enak kalo aku pake “aku” ya daripada pake “gue” kaya biasanya. Oke, mulai sekarang kita mulai dengan “aku” ya. Kita mulai dari awal. Kenalkan, ini aku, “aku”.
Karena tepat 10 November kemarin adalah hari pahlawan nasional, dan beberapa hari setelahnya adalah hari ayah, postingan kali ini bakal ada hubungannya sama kedua hal tadi. Iya, kali ini aku bakal bahas gimana sosok Ayah sebagai pahlawanku.
Dulu, awal masuk kuliah Psikologi, aku dapet tugas ‘knowing your self’. Kita diminta untuk deskripsikan dan mengenali diri kita secara mendalam dan menuliskannya dalam paragraf. Aku bergetar waktu itu. Enggak tau kenapa aku emang sentimentil kalau diminta untuk nyeritain tentang diriku. Sama seperti postingan kali ini. Aku sedikit bergetar saat menulis ini. Topik tentang Ayah lumayan sensitif buatku. Baiklah kita mulai saja.
Setiap orang punya definisi masing-masing tentang apa itu pahlawan. Buatku, pahlawan itu Ayah. Banyak hal yang beliau perjuangin demi kami, anak dan isterinya. Makanya aku berani ngasih gelar pahlawan ke beliau.
“Waktu adek lahir, negara pas langsung krismon”, kata ibuku pada sebuah perbincangan tentang masa dulu. Hmm, aku mulai curiga penyebab krisis moneter negara kita dulu itu sebenernya aku. Iya kah ? Ah Pak Harto becanda nih ..
Keadaan tadi berimbas juga ke keadaan ekonomi keluarga ku. Yups, keadaan ekonomi keluarga ku pada saat itu gak bisa dibilang stabil. Semua perlu berjuang untuk ngebiayain kakak sekolah, aku yang masih bayi, dan lain sebagainya.
Ayah dengan latar belakang pendidikannya yang hanya lulusan SMA bekerja apa saja yang bisa dia kerjakan. Apa saja. Tanyakan padaku tentang pekerjaan apa saja yang ayahku pernah kerjakan. Hampir semua pernah dilakoninya. Pedagang bakso ? Pedagang es ? Pengangkut pasir ? Tukang sayur ? Pernah. Apalagi, buruh pabrik ? pernah. Ayah melakukan semua yang dia bisa untuk kami, keluarganya.
Aku adalah anak kesayangan ayah waktu kecil. Beliau selalu berusaha memberikan yang terbaik sekalipun harus berjuang dua kali lipat. Makanan, mainan, asupan gizi, aku dapat yang terbaik. Ayah memperjuangkannya.
Ririn kecil dan ayah juga sangat dekat. Luar biasa dekat. Bahkan dalam sebuah perjalanan dengan bis pada saat kunjungan ke Jawa, Ririn kecil hanya mau dipangku Ayah. Bukan ibu. Sudah lupa sebabnya, tapi masih ingat bagaimana nyamannya menjadi Ririn kecil.
Aku terbiasa dengan hidup yang sederhana, karena memang begitulah keluargaku. Tapi pernah satu ketika aku marah pada keadaan. Pada saat itu aku masih SD dan ayah masih bekerja sebagai penjual sayur. Kalian bisa bayangkan bagaimana seorang penjual sayur ? Keliling dengan motor dan gerobaknya. Begitulah ayah.
Ayah selalu pulang tengah hari tepat dengan waktu aku keluar sekolah. Tempat ayah jualan dan sekolahku sebenarnya jauh, tapi ayah sering menyempatkan menjemput masih dengan gerobaknya. Sekalian katanya. Dengan perasaan anak kecil pada saat itu, aku malu. Punya ayah yang seorang penjual sayur keliling, dijemput pula ke sekolah masih dengan gerobaknya. Kalian mungkin bisa bayangkan. Aku naik di depan motor ayah, karena di belakang gerobak. Rasanya ? hahaha, jangan tanya. Aku bahkan dibully karena itu. Aku marah, malu, menyalahkan keadaan tapi hanya dalam hati.
Terlalu banyak perjuangan kalau mau kuceritakan satu persatu. Ibu, Ayah, bahkan kakak sudah biasa berjuang. Ibu juga bekerja, buruh. Kakak juga, bahkan sejak SMA. Mulai dari mengajar ngaji, penyiar radio, jurnalis, dan aku lupa apalagi yang pernah dia kerjakan.
Tapi sekarang semuanya membaik. Ayah bekerja di sebuah perusahaan batu bara. Sekalipun hanya Security tapi gajinya lumayan. Teman-teman di Kaltim pasti taulah berapa standar gaji perusahaan batu bara disini :D
Sebenernya, aku juga kerja. Iya, aku kuliah sambil kerja. Sejak SMA bahkan. Tapi aku kerja bukan karena keadaan ekonomi kami yang masih buruk. Aku memang aktif. Sekolah atau kuliah saja terlalu monoton buatku. Lagipula aku mau tau manisnya uang hasil keringat sendiri. Dan ternyata, luar biasa rasanya. Sampai sekarang aku ketagihan manisnya uang hasil keringat sendiri. Sekarang aku kerja di sebuah biro psikologi sebagai tester. Sebelumnya aku pernah jadi penyiar radio dan guru private. Jadi anak-anak di keluarga kami bukan anak-anak manja.
Sekarang pipi ayah sudah gak tirus lagi, ayah sudah gendut. Perutnya sudah mulai buncit, dan ayah juga sudah ngerti perawatan sekarang. Hahahaha. Beliau juga suka modifikasi motor sekarang. Aku gak tau itu motor Vixionnya diapain sampe mirip robot gitu -____-‘
Beliau sudah mendapatkan apa yang beliau perjuangkan sekarang. Semua ikut menikmatinya, termasuk aku. Rasanya nyesel pernah marah dengan keadaan. Ternyata keadaan mengajari banyak hal. Tentang bagaimana mensyukuri yang berhasil kami dapat sekarang ini, tentang berbagi, tentang tidak mudahnya hidup yang mungkin sekarang masih dialami beberapa saudara kita di luar sana.
Ada yang bertanya, “Kamu gak malu Rin nyeritain punya bapak pernah jualan sayur, jualan bakso, ngangkut pasir, buruh. Gak malu ?”. Jawabannya sudah jelas, ENGGAK. Aku gak pernah malu sama sejarah keluargaku yang keluarga sederhana. Aku bangga.
Anak mana yang gak bangga dengan ayah yang luar biasa menyayangi dengan berbagai keadaannya. Anak mana yang gak bangga punya ayah yang seorang pejuang. Aku juga sering menceritakan kisah ini pas jadi pemateri penyuluhan psikologi. Bukti bahwa aku sama sekali gak malu (lagi) sama keadaan.
Semua hal ini justru bikin aku malu, untuk ngeluh. Malu untuk cepet nyerah. Malu untuk lunak sama kehidupan. Jadi, siapa yang siap untuk jadi pahlawan masa depan ?
So, ini adalah akhis dari postingan ini. Semoga teman-teman bisa mengambil pesan dari sedikit kisah yang aku ceritakan. Baca juga surat cinta aku untuk ayah yaa disini, untuk mengingatkan kita luar biasanya sosok yang kita panggil ‘ayah’ itu. Terimakasih sudah mampir. Sampai jumpa di postingan berikutnya.

Terimakasih juga, Ayah :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar