Kamis, 14 November 2013

SURAT CINTA UNTUK AYAH





Kepada yang luar biasa, Ayah.

Yah, maaf menulis surat ini diam-diam. Pukul 01.30 saat kutulis surat ini. Mungkin Ayah akan marah kalau tau anaknya belum tidur hingga selarut ini. Aku hanya.. hanya.. ingin berterimakasih.
Terimakasih, Yah. Kepada setiap peluh yang kau tukar dengan kasih sayang, kepada setiap lelah yang kau rela rasa demi kami banyak orang. Hingga kini, kami ikut dalam bahagia yang kau perjuangkan.
Ayah, maaf untuk aku yang lancang menjadi sebab susahmu. Untuk setiap aku dalam khawatirmu.

Tahukah Ayah, aku terhenti sejenak baru saja. Berusaha menahan air mata paling tidak sampai kuselesaikan tulisan ini. Tapi berontak dia, lalu kubiarkan hangatnya meluap lewat sudut mata. Kepadamu Yah kupersembahkannya, kepada perjuanganmu yang tidak dapat kutebus dengan yang sedang mengalir ini.

Terimakasih, Yah. Untuk masa kecil indah yang kau berikan. Untuk mainan kesayangan yang masih kusimpan sampai hari ini. Untuk hangat pangkumu dalam perjalanan jauh itu. Untuk cekatanmu membuat bubur saat aku terkena tipus. Haha, aku ingat saat itu. Aku selalu memuntahkan makanan, aku juga demam. Kemudian kita ke Rumah Sakit, dan kata Dokter aku terkena tipus. Tidak opname memang, tapi dokter menyarankan aku makan bubur dan menghindari serat. Ah entahlah. Aku tidak paham. Yang aku ingat, kau membuatkan sendiri buburnya demi yakin semuanya benar. Terimakasih, Yah.

Terimakasih pula untuk banyak hal yang bahkan tidak kumasukkan dalam daftar ucapan terimakasihku. Aku bahagia menjadi anakmu. Aku bangga menjadi anakmu.

Satu hal, aku rindu menjadi Ririn kecil, Yah. Aku rindu setiap kenangan menjadi dia. Begitu dekat dengan Ayah, begitu nyaman menceritakan banyak hal yang terjadi seharian, berebut channel televisi, menertawakan hal kecil yang hanya kita yang mengerti, aku rindu semua, Yah. Aku rindu hal-hal kecil yang menjadikan kita dekat. Entahlah, padahal Ayah ada.

Yah, bolehkah aku marah pada waktu ? Karenanya Yah aku beranjak dewasa. Tidak bolehkah aku tetap menjadi Ririn kecil ? Yang berlarian menyambutmu pulang kerja. Yang mengetuk pintu kamarmu tengah malam saat hingga larut aku terjaga.

Tidak bisakah, Yah ? Tidak bisakah rambutmu tidak memutih ? Tidak bisakah detik berhenti merampas umurmu ? Tidak bisakah, Yah ?

Maaf aku marah pada waktu. Aku hanya tidak siap membayangkan yang akan dilakukannya padamu. Benar-benar tidak siap.

Terlalu banyak yang masih harus kita lakukan bersama. Ya kan, Yah? Ayah harus berjanji untuk itu.
Dan diakhir surat ini, aku ingin meminta maaf. Kepadamu lelaki luar biasa kami, Ayah. Dengan aku yang kini bukan Ririn kecil lagi, mungkin kita harus terbiasa dengan ini. Yang harus kau tau, Yah, aku tetap Ririn kecilmu jauh di dalam sini. Tidak perlu takut kehilangan.
Aku menyayangimu, Ayah. Teruslah disini.




Putri kecilmu,



Ririn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar