Pernah dengar istilah ‘jangan menilai sebuah buku dari
sampulnya’ ? Pasti pernah. Istilah yang apabila diartikan akan muncul makna
mendalam tentang bagaimana seharusnya kita menilai sesama bukan hanya dari
penampilannya saja, melainkan keseluruhan dari dirinya, termasuk kepribadian,
etika, dan sebagainya.
Tapi taukah kita bahwa ‘jangan menilai buku dari sampulnya’
adalah sebuah omong kosong besar ? Yup,
it’s such a big bullshit.
Sedikit cerita tentang pengalaman saya beberapa waktu yang
lalu. Waktu itu saya belanja di Indom*rt. Seperti biasa, saya cuma pakai baju
seadanya karena memang jarak dengan rumah tidak terlalu jauh. Gamis, jilbab
instan panjang, kaus kaki, dan sendal jepit.
Pada saat mau membayar, saya mengantre di belakang mbak-mbak
yang pakai hot-pants dan pakaian kekinian banget lah. Wangi pula. Dengan ramah
penjaga kasir memberi sapaan selamat siang, menyebutkan nominal jumlah harga
belanjaan, dan mengucapkan terimakasih setelah memberikan kembalian untuk
mbak-mbak bercelana seadanya tadi.
Oke, giliran saya bayar. Dan yang terjadi adalah, boro-boro
menyebutkan nominal harga belanjaan saya, mengucapkan terimakasih setelah
memberikan kembalian pun tidak dilakukan oleh si penjaga kasir. Saya bahkan tau
nominal jumlah harga belanjaan dari monitor mesin kasir yang mengarah ke
pelanggan itu. Si penjaga kasir cuma meletakkan belanjaan saya di dalam kantung
plastik, menerima uang, kemudian memberikan kembalian. Benar-benar tanpa
bicara. Yasudahlah.
Di perjalanan pulang otak saya berputar-putar mencari jawaban
sejumlah pertanyaan yang juga dibuatnya sendiri. Bukannya menyapa pelanggan,
menyebutkan nominal belanjaan, dan mengucapkan terimakasih itu bagian dari SOP perusahan
terutama yang sekelas Indom*rt ya ? Kenapa pelanggan sebelumnya dilayani dengan
ramah sementara saya enggak ? Sampai dirumah saya menghadap cermin. Jangan-jangan
karena ini.
“Ah, perasaan kamu aja kali, Rin. Siapa tau si penjaga kasir
waktu itu sedang fokus ke hal lain, makanya enggak nyapa”. Baik, mari
ber-husnudzon dan anggap saja begitu. Tapi ijinkan saya berbagi satu kisah
lagi.
Suatu hari, kami (saya dan rekan-rekan dari konsultan
psikologi tempat saya bekerja) memenuhi jadwal konseling karier di sebuah
Sekolah Menengah Atas yang cukup elite di Samarinda. Hari itu seperti biasa,
saya dan teman-teman menggunakan pakaian (yang bagi kami) sopan. Salah satu rekan
saya menggunakan gamis semi formal, jilbab panjang, tas ransel, dan flatshoes. Beberapa saat setelah kami
turun dari kendaraan, rekan saya ini menghampiri meja piket (yang nampaknya dijaga
oleh mahasiswa magang) untuk minta ditunjukkan letak toilet. “Jadi mbak kesini cuma
buat numpang ke toilet ?!” ketus mahasiswa magang di meja piket tadi menjawab
pertanyaan rekan saya. Wuih, di sekolah se-elite ini bahkan mahasiswa magang
luar biasa sekali etikanya-dalam hati saya.
Sudah lihat kan dimana letak betapa omong kosongnya ‘jangan
menilai buku dari sampulnya’. Karena sadarlah hei semua, bahwa kita hidup di
dunia di mana semua orang memberikan penilaian pertama dari ‘sampulnya’. Diakui
atau tidak, people judge a book by its
cover !
Sebenarnya, saya adalah orang yang setuju dengan istilah ‘jangan
menilai buku dari sampulnya’ (buktinya saya ke Indom*rt hanya menggunakan
sandal jepit, haha). Hanya saja sangat disayangkan masih banyak dari kita, kurcaci
penghuni kolong langit ini, yang dengan lancang menghakimi orang lain hanya
dari penampilannya.
Sudah menjadi kebiasaan sepertinya sebagian kita menilai
buruk orang lain bahkan hanya berdasarkan tampilan luarnya. Padahal sudahkah
kita melihat ke dalam, adakah kita (mungkin) lebih baik dari orang yang kita
hakimi ‘sampulnya’.
“Dan janganlah engkau memalingkan mukamu (karena memandang
rendah) kepada manusia, dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan bersikap
sombong; sesungguhnya Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang sombong
takabur, lagi membanggakan diri.” [Q.S. Luqman : 18]
Benar, kita hidup di dunia berisi mereka yang menilai buku
dari sampulnya. Tapi sudah begitu mulia kah kita hingga layak menghakimi orang
lain hanya dari tampilan luar saja. Da kita mah apa atuh, cuma insan minimal
penghuni kolong langit. Terlalu kecil untuk merasa besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar