Minggu, 08 Maret 2015

‘DONT JUDGE A BOOK BY ITS COVER’ IS A BULLSHIT



 
Pernah dengar istilah ‘jangan menilai sebuah buku dari sampulnya’ ? Pasti pernah. Istilah yang apabila diartikan akan muncul makna mendalam tentang bagaimana seharusnya kita menilai sesama bukan hanya dari penampilannya saja, melainkan keseluruhan dari dirinya, termasuk kepribadian, etika, dan sebagainya.
Tapi taukah kita bahwa ‘jangan menilai buku dari sampulnya’ adalah sebuah omong kosong besar ? Yup, it’s such a big bullshit.

Sedikit cerita tentang pengalaman saya beberapa waktu yang lalu. Waktu itu saya belanja di Indom*rt. Seperti biasa, saya cuma pakai baju seadanya karena memang jarak dengan rumah tidak terlalu jauh. Gamis, jilbab instan panjang, kaus kaki, dan sendal jepit.
Pada saat mau membayar, saya mengantre di belakang mbak-mbak yang pakai hot-pants dan pakaian kekinian banget lah. Wangi pula. Dengan ramah penjaga kasir memberi sapaan selamat siang, menyebutkan nominal jumlah harga belanjaan, dan mengucapkan terimakasih setelah memberikan kembalian untuk mbak-mbak bercelana seadanya tadi.
Oke, giliran saya bayar. Dan yang terjadi adalah, boro-boro menyebutkan nominal harga belanjaan saya, mengucapkan terimakasih setelah memberikan kembalian pun tidak dilakukan oleh si penjaga kasir. Saya bahkan tau nominal jumlah harga belanjaan dari monitor mesin kasir yang mengarah ke pelanggan itu. Si penjaga kasir cuma meletakkan belanjaan saya di dalam kantung plastik, menerima uang, kemudian memberikan kembalian. Benar-benar tanpa bicara. Yasudahlah.
Di perjalanan pulang otak saya berputar-putar mencari jawaban sejumlah pertanyaan yang juga dibuatnya sendiri. Bukannya menyapa pelanggan, menyebutkan nominal belanjaan, dan mengucapkan terimakasih itu bagian dari SOP perusahan terutama yang sekelas Indom*rt ya ? Kenapa pelanggan sebelumnya dilayani dengan ramah sementara saya enggak ? Sampai dirumah saya menghadap cermin. Jangan-jangan karena ini.
“Ah, perasaan kamu aja kali, Rin. Siapa tau si penjaga kasir waktu itu sedang fokus ke hal lain, makanya enggak nyapa”. Baik, mari ber-husnudzon dan anggap saja begitu. Tapi ijinkan saya berbagi satu kisah lagi.
Suatu hari, kami (saya dan rekan-rekan dari konsultan psikologi tempat saya bekerja) memenuhi jadwal konseling karier di sebuah Sekolah Menengah Atas yang cukup elite di Samarinda. Hari itu seperti biasa, saya dan teman-teman menggunakan pakaian (yang bagi kami) sopan. Salah satu rekan saya menggunakan gamis semi formal, jilbab panjang, tas ransel, dan flatshoes. Beberapa saat setelah kami turun dari kendaraan, rekan saya ini menghampiri meja piket (yang nampaknya dijaga oleh mahasiswa magang) untuk minta ditunjukkan letak toilet. “Jadi mbak kesini cuma buat numpang ke toilet ?!” ketus mahasiswa magang di meja piket tadi menjawab pertanyaan rekan saya. Wuih, di sekolah se-elite ini bahkan mahasiswa magang luar biasa sekali etikanya-dalam hati saya.
Sudah lihat kan dimana letak betapa omong kosongnya ‘jangan menilai buku dari sampulnya’. Karena sadarlah hei semua, bahwa kita hidup di dunia di mana semua orang memberikan penilaian pertama dari ‘sampulnya’. Diakui atau tidak, people judge a book by its cover !
Sebenarnya, saya adalah orang yang setuju dengan istilah ‘jangan menilai buku dari sampulnya’ (buktinya saya ke Indom*rt hanya menggunakan sandal jepit, haha). Hanya saja sangat disayangkan masih banyak dari kita, kurcaci penghuni kolong langit ini, yang dengan lancang menghakimi orang lain hanya dari penampilannya.
Sudah menjadi kebiasaan sepertinya sebagian kita menilai buruk orang lain bahkan hanya berdasarkan tampilan luarnya. Padahal sudahkah kita melihat ke dalam, adakah kita (mungkin) lebih baik dari orang yang kita hakimi ‘sampulnya’.
Dan janganlah engkau memalingkan mukamu (karena memandang rendah) kepada manusia, dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan bersikap sombong; sesungguhnya Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang sombong takabur, lagi membanggakan diri.” [Q.S. Luqman : 18]
Benar, kita hidup di dunia berisi mereka yang menilai buku dari sampulnya. Tapi sudah begitu mulia kah kita hingga layak menghakimi orang lain hanya dari tampilan luar saja. Da kita mah apa atuh, cuma insan minimal penghuni kolong langit. Terlalu kecil untuk merasa besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar